Senin, 21 Oktober 2013

angin itu mekar

Seperti kuntum, angin itu mekar
meninggalkan sarangnya yang adalah badai kelabu di bulan oktober
lalu hilang tak berbekas


pada peluhnya kulihat tetesan angin yang berusaha mengeringkan wajah keriput
lalu sepoi seperti hendak membawanya pergi ke negeri yang jauh
kini ia bahagia


untuk teman yang karena dosaku,
sulit berkata

Kamis, 30 Agustus 2012

Kronis Ironis


“Anda menderita kanker otak stadium empat. Waktu hidup anda tinggal empat bulan lagi.”
“Apa?”
Hari itu rumah Bapak Haji Raden Kusno Joyo Hadiningrat geger segeger-gegernya. Di kepala orang terkaya di Desa Wonogedan  tersebut terjadi perubahan sel-sel otak yang membahayakan kehidupannya. Istilah bekennya kanker otak. Ia takut, konon penyakit itu dalam tingkatan seperti ini berarti tinggal menunggu ditaruh di keranda. Setidaknya itulah yang diketahui istrinya dari kisah-kisah sinetron di televisi.
                Semua tetangga geger, termasuk kantor kepala desa, puskesmas, bahkan pos ronda. Jelas ini adalah hal yang mengagetkan, menyadari bahwa sang juragan adalah pusat dari sendi-sendi perekonomian desa tersebut. Ada yang mengasihani, ada yang mendoakan, tapi ada juga yang mensyukuri bahkan mensumpah serapahi pria malang yang hidupnya sebentar lagi ini.
Lantas apa yang dipikirkan sang juragan? Jelas ia takut. Takut setengah mati karena menyadari harus meninggalkan rumah yang begitu megah, sawah yang membentang luas, sapi dan kerbau yang begitu banyak, bahkan empat orang istri yang masih muda dan cantik-cantik. Bukan itu saja, benak Juragan Kusno tak habis piker mengapa hal ini bisa terjadi padanya.
“Bagaimana kalau istri-istriku memperebutkan harta warisanku?”
“Mengapa aku harus meninggal terlalu cepat? Padahal aku sudah berbuat banyak demi kemajuan desa ini. Sedekah pun tak pernah absen aku bagikan bagi para miskin.”
***
“Mungkin saja penyakit ini masih ada obatnya.”
Juragan Kusno tak patah semangat. Ia mendatangi berbagai rumah pengobatan. Mulai dari Sin She di timur jauh hingga pengobatan barat yang memakan biaya ratusan juta. Hanya saja tidak ada satupun dari semua pengobatan tersebut yang berhasil. Sepertinya Juragan Kusno memang ditakdirkan untuk segera menyandang gelar almarhum.
Juragan Kusno pasrah. Ia sudah merelakan kehidupannya diambil oleh Yang Empunya. Hari ini adalah tepat hari yang dikatakan dokter sebagai hari meninggalnya sang juragan kaya raya tersebut. Sejak seminggu para warga telah dipanggil untuk menerima sumbangan sembako dari keluarga Juragan Kusno. Tak kurang mengadakan kegiatan ibadah untuk mendoakan kepergian calon almarhum.
Ini adalah malam terakhir. Kusno sudah berpamitan dengan seluruh istri dan anak-anaknya. Tak lupa ia berwasiat untuk membagikan harta kekayaannya sama rata. Ia mengenakan pakaian serba putih dan duduk bersila.
Kusno haus, ia meminta segelas air putih. Setelah itu ia merasa pusing, terjatuh dan tergeletak begitu saja.
Kusno meninggal.
***
Kusno terbangun.
Ia berkeringat dingin. Kaget menyadari bahwa itu hanya mimpi. Serasa begitu lama, tapi juga begitu cepat. Jelas sangat menakutkan baginya.
Ia beranjak dari tempat tidurnya. Membasuh wajahnya yang penuh dengan keringat. Terasa dingin dan menyegarkan. Segera saja Kusno keluar menuju teras. Pemandangan desa yang begitu indah. Hanya saja, ia heran sekali mengapa pemandangan ini berbeda sekali dengan yang biasa ia nikmati, kursi yang beda dengan yang biasa ia duduki dan rumah yang sama sekali tak mirip dengan yang biasa ia tinggali.
Kusno menjadi sangat bingung.
Tiba-tiba terdengar suara menggelegar dari langit.
“Bodoh, kau sudah di surga!”

Senin, 27 Agustus 2012

"Kalau mencintai itu membuat berkeringat. Aku orang paling bau di dunia."

"Gelap bukanlah lawan dari terang.

Ia hanya ketiadaan dari terang"

Puisi yang Tak Sudi Dibuat


Hujan hari ini tak cukup buat Matahari
Buat matahari menampakkan Pelangi
Menampakkan Pelangi yang kalau mati juga tak sudi
Tak sudi membuat aku tersenyum hari ini

--

Awan sore ini masih menggamit badai
Menggamit badai yang tanpanya tanah kuburan tak cukup basah
Tak cukup basah untuk menziarahi kuburan mimpi hari ini
Hari ini yang tanpamu pelangi tak lagi berarti
--
Gunung malam ini seperti merapuhkan diri
Merapuhkan diri yang tanpanya akar-akar besar kemelut dalam banjir
Dalam banjir yang dengannya mimpi-mimpi dihantarkan menuju kuburan mimpi
Kuburan mimpi yang tak sudi menerima puisi yang tak sudi dibuat ini

Sabtu, 26 Mei 2012

Pengakuan Seorang Pelacur



Bagiku ia tak lebih dari seorang bajingan atau penjahat kelamin. Ia bukannya pria paling hebat yang pernah menyetubuhiku. Kemaluannya pun tak sesangar tampilan wajahnya yang berjambang lebat. Ah, persetan dengan segala bisik-bisik disekitarku yang menyebutkan bahwa ia adalah orang kuat. Tak penting bagiku segala atribut atau jabatan laki-laki yang datang melacur. Yang paling penting adalah uang bayaran itu harus segera aku terima setelah mereka puas menikmati tubuhku.
Menurutku ia hanyalah orang yang terlalu percaya diri. Mungkin karena ia memang orang yang bergelimang uang. Namun sejujurnya ia hanyalah pria yang mengalami ejakulasi prematur. Denganku, dan sangat mungkin dengan pelacur lain, ia hanya membeli sensasi. Dengan uangnya ia bisa membayar segala jenis pelacur, dari yang bertarif mahal hingga yang murahan. Namun itu tak bisa menutupi kelemahannya, dimana ia hanyalah seorang yang besar nafsu tetapi kekuatan seksualnya tak sehebat hasrat libidonya.
Lelaki berwajah kaku itu sejujurnya bukanlah pria yang romantis. Ia tidak cukup cerdas untuk bisa bersenandung dengan nada yang benar seperti lagu yang dinyanyikan. Dan tidak terlalu sulit untuk menaklukkannya. Cukuplah dengan sedikit kata-kata merayu ia akan segera berubah menjadi orang yang penurut, seperti kerbau yang dicokok hidungnya. Dengan sedikit rayuan ia akan merasa tersanjung lalu menjadi seorang yang royal untuk memberi apapun.
Terbuai oleh rayuan, itu kemudian menjadikannya sebagai (salah satu) pelangganku. Tak usah ditanyakan apakah aku (pernah) merasa puas berhubungan badan dengannya. Tapi tanyakanlah padanya seberapa sering ia takluk hanya dengan desah-desah komersil dari bibirku. Lalu ia akan segera mengobral cumbuan dengan kata-kata mesra yang mungkin tidak pernah ia ucapkan kepada wanita malang yang telanjur menjadi isterinya.
Boleh jadi ia juga terlampau arogan dan tipikal pria berfikiran pendek. Sering aku mendengarnya mengumpat atau memaki melalui telefon selularnya. Bahkan aku mendengar ucapannya saat ia menyuruh seseorang untuk membunuh. ”aku sudah muak dengan ocehannya, tolong deh, loe habisin dia secepatnya”
Begitulah kata-kata yang pernah terlontar suatu kali. Aku tak mengerti dengan apa yang diucapkannya. Yang jelas wajahnya terlihat sangat masam kala itu, lalu ia menggauliku dengan hasrat yang meluap-luap, lalu setelah ia terkapar lemas ia memaki dan mengusirku sambil melemparkan segepok uang dari kantong celananya.
Itulah terakhir kali aku melayaninya. Sepanjang sore ia murka dengan pengalaman barunya, yang mana ia meniduri perempuan yang ternyata adalah gundik salah seorang kenalannya. Ah.. bagiku itu biasa, adalah hal lazim bagi kawanan hidung belang untuk saling bertukar pasangan. Tapi ini mungkin menyangkut harga diri, sesuatu yang membuatnya kalap hingga semudah itu membuat perintah pembunuhan.
Kini, tatkala aku tengah bersenggama dengan pelangganku yang lain, pria yang menjadi pelangganku itu kini muncul di televisi. Ia memakai baju tahanan yang mungkin tak pernah terpikir olehnya selama ini. Ia mungkin berfikir bahwa dirinya kebal hukum, namun faktanya saat ini hukum tengah mengepung dirinya.
Setelah itu aku menjadi sadar, bahwa aku pernah melayani seorang pembunuh. Ah, bagiku dunia menjadi semakin gelap. Aku teringat lagi saat terakhir melewati malam yang pendek bersamanya. Aku teringat pada setumpuk uang pemberiannya yang terakhir sebelum ia mendekam di penjara. Ah…, hanya segepok uang, tapi lihatlah amplop yang membungkusnya. Amplop coklat dengan tulisan Kementerian Pelacuran itu akan terus kusimpan. Amplop itulah saksi bisu bahwa aku juga pernah melayani seorang pejabat penting di negeri ini, dan kuharap itu akan menaikkan reputasiku sebagai pelacur…

Murid Terakhir


Ini adalah sore terakhir bagiku untuk berpamitan. Hanya aku dan Budiman di teras rumah kayu itu. Ya, dalam dua tahun terakhir ini hanya Budiman yang hadir ke “sekolah” ini.
“Jadi, Bapak harus kembali ke Jawa?” tanya Budiman dengan wajah tertunduk. Aku masih diam. Surat Keputusan pindah tugas yang ada ditanganku memberi isyarat bahwa aku harus mengakhiri kebersamaanku dengan Budiman, anak didikku yang tersisa. Cita-citaku mendidik Budiman belum tuntas. Aku masih punya mimpi panjang tentang sebuah sekolah untuk mereka, sekolah yang semestinya, meski bukan berarti aku yang harus menjadi guru mereka.
***
Aku bukan guru, tetapi orang-orang memanggilku Pak Guru, alih-alih menyebutku Pak Mantri sebagaimana profesiku sebagai penyuluh pertanian. Disini aku mengajar, tetapi bukan di gedung sekolah seperti pekerjaan seorang guru. Aku punya murid, kalau boleh disebut begitu, yang jumlahnya tak tentu dengan kehadiran tak pasti pula. Terkecuali Budiman, muridku bisa dipastikan berkurang ketika musim mendaras karet tiba, atau ketika tiba-tiba kebosanan muncul di hati anak-anak itu, maupun orang tua mereka.
Telah enam tahun ini aku bertugas menjadi penyuluh pada kawasan transmigran di pedalaman Riau. Selesai dengan sarjana pertanianku, tugas sebagai penyuluh di tempat yang jauh dari kampung halaman kini menjadi pekerjaanku. Sepeda inilah yang menemaniku menempuh belasan kilometer jalan setapak di tengah ladang untuk menyuluh. Bertahun-tahun mengakrabi petani membuatku faham betapa para transmigran yang polos dan tak terpelajar itu begitu mudah dipermainkan tengkulak karet. Sebagaimana aku hafal bahwa anak-anak para transmigran itu tidak bersekolah, tak mengenal baca tulis dan tak tahu berhitung.
“Sore sudah semakin gelap. Pelajaran hari ini kita akhiri. Besok sore siapa bisa sekolah lagi?” nyaris setiap sore kalimat itu kuucapkan mengakhiri aktifitas belajar disini. Namun tak setiap anak memberi kepastian akan datang untuk belajar esok hari. Ini bukan gedung sekolah. Tetapi hasratku membuatku sanggup menyulap bekas rumah transmigran ini menjadi tempat belajar membaca, menulis dan berhitung. Anak-anak itu, juga orang tua mereka, menyebutnya sekolah.
Perih hatiku ketika orang-orang mencibirku saat kubersihkan bangunan kayu yang disebut orang sebagai sarang hantu itu. Tetapi perlahan kesabaranku membatu, dari gajiku yang tak seberapa ini aku bisa membeli beberapa meja – kursi kayu, sebuah papan hitam dan beberapa lembar poster angka dan huruf.
“Kami mohon ijin kepada Bapak selaku orang tua. Jika diperkenankan boleh kiranya Budiman belajar baca, tulis dan berhitung setiap sore di tempat kami.” Demikian kuketuk setiap pintu, berbicara kepada para orang tua untuk bisa mengajak Budiman juga Zulham, Elias, Darwis, Santoso, Ramadhan, tak terkecuali Uli, Ijah, Wati dan bocah-bocah usia sekolah di kawasan transmigran itu. Tak sekali mereka menghardikku, tak sekali ajakanku ditertawakan, diremehkan “Belajar itu tak penting, Nanti mereka akan bisa berhitung sendiri kalau sudah bisa memanen karet dan sawit dari ladang mereka.”
Ah.. anak-anak itu tetaplah bocah kecil yang senang dengan hal baru. Bocah-bocah itu bersemangat memelajari angka dan huruf, sebesar semangat mereka mendapat buku tulis, pensil, buku gambar dan pensil warna. Itulah yang membuatku senang, kini aku merasa hari-hariku lebih berguna. Aku bangga melihat bocah-bocah yang biasanya hanya bermain dan mengejar-ngejar babi, kini akrab dengan buku dan pensil.
***
Dapat kumaklumi ketika anak-anak itu mulai bosan dengan apa yang mereka sebut sebagai belajar. Aku bisa mengerti jika anak-anak itu lebih memilih pergi mendaras karet atau ikut keluarga mereka menjual sawit. Satu persatu petani transmigran memetik jerih payah mereka. Kini mereka mengenal listrik dan parabola, anak-anak mereka mengenal televisi dan videogame, benda yang jauh lebih menarik dibanding buku dan papan tulis, toh untuk memainkannya mereka tak perlu harus bisa membaca.
Hanya Budiman yang mampu bertahan. Kepolosannya hanya bercita-cita untuk menjadi seperti diriku, seorang penyuluh, karena ia tak tahu bahwa orang bisa saja berprofesi sebagai polisi, dokter, pilot, tentara atau guru. Bocah dengan sorot mata tajam ini adalah bentuk ketersia-siaan sebuah potensi. Ia tak mengenal sekolah, meski kini telah lancar baca-tulis dan berhitung. Ia haus pengetahuan, ia banyak bertanya, serajin ia meminta buku-buku bekas dan koran bekas yang tak setiap saat bisa kuberikan kepadanya.
Budiman menjadi anak terakhir yang bertahan di rumah kayu ini. Aku harus menghentikan semangatnya setiap sore ketika matahari tenggelam dan tak ada lagi cahaya untuk membaca dan menulis. Dan hari ini Budiman pula anak terakhir yang masih mendekap buku sambil melelehkan air mata. Aku meninggalkannya dengan hati berat. Tugas ini harus aku jalani, kendati itu harus membiarkan Budiman berharap kepada kepala desa untuk menjadi gurunya yang lain.
***
Aku tak lagi berada di tengah kehidupan transmigran. Tugasku kini di Jawa Tengah tak lagi memberi kesibukan sebagai pengajar. Pendidikan disini berjalan jauh lebih baik, dan kuharap Budiman bisa segera menikmatinya di daerahnya nun jauh disana.
Bocah-bocah kecil berangkat sekolah bersama-sama bersepeda. Tas-tas yang bagus, penuh berisi buku-buku bermutu. Wajah cerah dibalut seragam bagus itu bernyanyi menuju sekolah mereka yang kokoh dan nyaman. Nyanyian itu, membawa ingatanku pada sesosok bocah di pedalaman Sumatera. Murid terakhirku hanya mendekap buku-buku lawas yang kuberi. Kini aku mengiriminya buku-buku yang lain, juga sepercik harapan agar ia menemukan sekolah yang sesungguhnya.