“Anda menderita
kanker otak stadium empat. Waktu hidup anda tinggal empat bulan lagi.”
“Apa?”
Hari itu rumah
Bapak Haji Raden Kusno Joyo Hadiningrat geger segeger-gegernya. Di kepala orang
terkaya di Desa Wonogedan tersebut
terjadi perubahan sel-sel otak yang membahayakan kehidupannya. Istilah bekennya
kanker otak. Ia takut, konon penyakit itu dalam tingkatan seperti ini berarti
tinggal menunggu ditaruh di keranda. Setidaknya itulah yang diketahui istrinya
dari kisah-kisah sinetron di televisi.
Semua
tetangga geger, termasuk kantor kepala desa, puskesmas, bahkan pos ronda. Jelas
ini adalah hal yang mengagetkan, menyadari bahwa sang juragan adalah pusat dari
sendi-sendi perekonomian desa tersebut. Ada yang mengasihani, ada yang
mendoakan, tapi ada juga yang mensyukuri bahkan mensumpah serapahi pria malang
yang hidupnya sebentar lagi ini.
Lantas apa yang
dipikirkan sang juragan? Jelas ia takut. Takut setengah mati karena menyadari
harus meninggalkan rumah yang begitu megah, sawah yang membentang luas, sapi dan
kerbau yang begitu banyak, bahkan empat orang istri yang masih muda dan
cantik-cantik. Bukan itu saja, benak Juragan Kusno tak habis piker mengapa hal
ini bisa terjadi padanya.
“Bagaimana kalau
istri-istriku memperebutkan harta warisanku?”
“Mengapa aku
harus meninggal terlalu cepat? Padahal aku sudah berbuat banyak demi kemajuan
desa ini. Sedekah pun tak pernah absen aku bagikan bagi para miskin.”
***
“Mungkin saja
penyakit ini masih ada obatnya.”
Juragan Kusno
tak patah semangat. Ia mendatangi berbagai rumah pengobatan. Mulai dari Sin She
di timur jauh hingga pengobatan barat yang memakan biaya ratusan juta. Hanya
saja tidak ada satupun dari semua pengobatan tersebut yang berhasil. Sepertinya
Juragan Kusno memang ditakdirkan untuk segera menyandang gelar almarhum.
Juragan Kusno
pasrah. Ia sudah merelakan kehidupannya diambil oleh Yang Empunya. Hari ini
adalah tepat hari yang dikatakan dokter sebagai hari meninggalnya sang juragan
kaya raya tersebut. Sejak seminggu para warga telah dipanggil untuk menerima
sumbangan sembako dari keluarga Juragan Kusno. Tak kurang mengadakan kegiatan ibadah
untuk mendoakan kepergian calon almarhum.
Ini adalah malam
terakhir. Kusno sudah berpamitan dengan seluruh istri dan anak-anaknya. Tak
lupa ia berwasiat untuk membagikan harta kekayaannya sama rata. Ia mengenakan pakaian
serba putih dan duduk bersila.
Kusno haus, ia
meminta segelas air putih. Setelah itu ia merasa pusing, terjatuh dan
tergeletak begitu saja.
Kusno meninggal.
***
Kusno terbangun.
Ia berkeringat dingin. Kaget menyadari
bahwa itu hanya mimpi. Serasa begitu lama, tapi juga begitu cepat. Jelas sangat
menakutkan baginya.
Ia beranjak dari tempat tidurnya.
Membasuh wajahnya yang penuh dengan keringat. Terasa dingin dan menyegarkan.
Segera saja Kusno keluar menuju teras. Pemandangan desa yang begitu indah.
Hanya saja, ia heran sekali mengapa pemandangan ini berbeda sekali dengan yang
biasa ia nikmati, kursi yang beda dengan yang biasa ia duduki dan rumah yang
sama sekali tak mirip dengan yang biasa ia tinggali.
Kusno menjadi sangat bingung.
Tiba-tiba terdengar suara
menggelegar dari langit.
“Bodoh, kau sudah di surga!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar