Ini
adalah sore terakhir bagiku untuk berpamitan. Hanya aku dan Budiman di teras
rumah kayu itu. Ya, dalam dua tahun terakhir ini hanya Budiman yang hadir ke
“sekolah” ini.
“Jadi, Bapak harus kembali ke Jawa?” tanya
Budiman dengan wajah tertunduk. Aku masih diam. Surat Keputusan pindah tugas
yang ada ditanganku memberi isyarat bahwa aku harus mengakhiri kebersamaanku
dengan Budiman, anak didikku yang tersisa. Cita-citaku mendidik Budiman belum
tuntas. Aku masih punya mimpi panjang tentang sebuah sekolah untuk mereka,
sekolah yang semestinya, meski bukan berarti aku yang harus menjadi guru
mereka.
***
Aku
bukan guru, tetapi orang-orang memanggilku Pak Guru, alih-alih menyebutku Pak
Mantri sebagaimana profesiku sebagai penyuluh pertanian. Disini aku mengajar,
tetapi bukan di gedung sekolah seperti pekerjaan seorang guru. Aku punya murid,
kalau boleh disebut begitu, yang jumlahnya tak tentu dengan kehadiran tak pasti
pula. Terkecuali Budiman, muridku bisa dipastikan berkurang ketika musim
mendaras karet tiba, atau ketika tiba-tiba kebosanan muncul di hati anak-anak
itu, maupun orang tua mereka.
Telah enam tahun ini aku bertugas menjadi
penyuluh pada kawasan transmigran di pedalaman Riau. Selesai dengan sarjana
pertanianku, tugas sebagai penyuluh di tempat yang jauh dari kampung halaman
kini menjadi pekerjaanku. Sepeda inilah yang menemaniku menempuh belasan
kilometer jalan setapak di tengah ladang untuk menyuluh. Bertahun-tahun
mengakrabi petani membuatku faham betapa para transmigran yang polos dan tak
terpelajar itu begitu mudah dipermainkan tengkulak karet. Sebagaimana aku hafal
bahwa anak-anak para transmigran itu tidak bersekolah, tak mengenal baca tulis
dan tak tahu berhitung.
“Sore sudah semakin gelap. Pelajaran hari ini
kita akhiri. Besok sore siapa bisa sekolah lagi?” nyaris setiap sore kalimat
itu kuucapkan mengakhiri aktifitas belajar disini. Namun tak setiap anak
memberi kepastian akan datang untuk belajar esok hari. Ini bukan gedung
sekolah. Tetapi hasratku membuatku sanggup menyulap bekas rumah transmigran ini
menjadi tempat belajar membaca, menulis dan berhitung. Anak-anak itu, juga
orang tua mereka, menyebutnya sekolah.
Perih hatiku ketika orang-orang mencibirku
saat kubersihkan bangunan kayu yang disebut orang sebagai sarang hantu itu.
Tetapi perlahan kesabaranku membatu, dari gajiku yang tak seberapa ini aku bisa
membeli beberapa meja – kursi kayu, sebuah papan hitam dan beberapa lembar
poster angka dan huruf.
“Kami mohon ijin kepada Bapak selaku orang
tua. Jika diperkenankan boleh kiranya Budiman belajar baca, tulis dan berhitung
setiap sore di tempat kami.” Demikian kuketuk setiap pintu, berbicara kepada
para orang tua untuk bisa mengajak Budiman juga Zulham, Elias, Darwis, Santoso,
Ramadhan, tak terkecuali Uli, Ijah, Wati dan bocah-bocah usia sekolah di
kawasan transmigran itu. Tak sekali mereka menghardikku, tak sekali ajakanku
ditertawakan, diremehkan “Belajar itu tak penting, Nanti mereka akan bisa
berhitung sendiri kalau sudah bisa memanen karet dan sawit dari ladang mereka.”
Ah.. anak-anak itu tetaplah bocah kecil yang
senang dengan hal baru. Bocah-bocah itu bersemangat memelajari angka dan huruf,
sebesar semangat mereka mendapat buku tulis, pensil, buku gambar dan pensil
warna. Itulah yang membuatku senang, kini aku merasa hari-hariku lebih berguna.
Aku bangga melihat bocah-bocah yang biasanya hanya bermain dan mengejar-ngejar
babi, kini akrab dengan buku dan pensil.
***
Dapat
kumaklumi ketika anak-anak itu mulai bosan dengan apa yang mereka sebut sebagai
belajar. Aku bisa mengerti jika anak-anak itu lebih memilih pergi mendaras
karet atau ikut keluarga mereka menjual sawit. Satu persatu petani transmigran
memetik jerih payah mereka. Kini mereka mengenal listrik dan parabola,
anak-anak mereka mengenal televisi dan videogame, benda yang jauh lebih menarik
dibanding buku dan papan tulis, toh untuk memainkannya mereka tak perlu harus
bisa membaca.
Hanya Budiman yang mampu bertahan.
Kepolosannya hanya bercita-cita untuk menjadi seperti diriku, seorang penyuluh,
karena ia tak tahu bahwa orang bisa saja berprofesi sebagai polisi, dokter,
pilot, tentara atau guru. Bocah dengan sorot mata tajam ini adalah bentuk
ketersia-siaan sebuah potensi. Ia tak mengenal sekolah, meski kini telah lancar
baca-tulis dan berhitung. Ia haus pengetahuan, ia banyak bertanya, serajin ia
meminta buku-buku bekas dan koran bekas yang tak setiap saat bisa kuberikan
kepadanya.
Budiman menjadi anak terakhir yang bertahan
di rumah kayu ini. Aku harus menghentikan semangatnya setiap sore ketika
matahari tenggelam dan tak ada lagi cahaya untuk membaca dan menulis. Dan hari
ini Budiman pula anak terakhir yang masih mendekap buku sambil melelehkan air
mata. Aku meninggalkannya dengan hati berat. Tugas ini harus aku jalani,
kendati itu harus membiarkan Budiman berharap kepada kepala desa untuk menjadi
gurunya yang lain.
***
Aku
tak lagi berada di tengah kehidupan transmigran. Tugasku kini di Jawa Tengah
tak lagi memberi kesibukan sebagai pengajar. Pendidikan disini berjalan jauh
lebih baik, dan kuharap Budiman bisa segera menikmatinya di daerahnya nun jauh
disana.
Bocah-bocah kecil berangkat sekolah
bersama-sama bersepeda. Tas-tas yang bagus, penuh berisi buku-buku bermutu.
Wajah cerah dibalut seragam bagus itu bernyanyi menuju sekolah mereka yang
kokoh dan nyaman. Nyanyian itu, membawa ingatanku pada sesosok bocah di
pedalaman Sumatera. Murid terakhirku hanya mendekap buku-buku lawas yang
kuberi. Kini aku mengiriminya buku-buku yang lain, juga sepercik harapan agar
ia menemukan sekolah yang sesungguhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar