Sabtu, 26 Mei 2012

Semerah Rambut Drupadi



“Masihkah engkau mengingat sumpahku dahulu, wahai Bima?”

“Tentu saja Kakanda. Sumpahmu adalah sumpahku jua. Aku telah menantang Dursasana. Tak akan kubiarkan keparat itu lolos dari tanganku. Bersiaplah, esok hari adalah saat penebusan sumpahmu, juga sumpahku.” Demi mendengar jawaban Bima langit bergemuruh, halilintar berkumandang. Wajah Bima merona, giginya bergemetak, kedua matanya memerah. Drupadi mengucurkan airmata.
***
Alunan orkestra membuai suasana perjamuan agung Kerajaan Astina, kala itu. Krisna hadir, Kunti hadir, Bisma hadir, Widura hadir, Durna hadir, Salya hadir. Pandawa datang memenuhi undangan sepupu mereka, Duryudana, tanpa sedikitpun sempat menduga apa yang bakal terjadi. Malam ini mereka menjawab tantangan bermain dadu, dan Yudhistira telah duduk satu meja bertatap wajah dengan Sengkuni.
Permainan ini adalah siasat licik Sengkuni untuk menjauhkan Pandawa dari tahta Astina yang menjadi hak mereka. Destarasta telah mengizinkan anak-anaknya menggelar permainan terkutuk itu atas usul Sengkuni. ”Melarang kami bermain dadu sama artinya dengan mencegah kami untuk merasakan kebahagiaan” kata-kata dari lisan Duryudana itu mencabik-cabik hati Destarasta. Tak kuasa ia mencegahnya, kendati Widura telah menasihati.
Bisma dengan hati sedih bergumam, ”permainan ini adalah awal pertumpahan darah keturunan Bharata”. Widura menyesalkan permainan dadu yangmana harus menghadapkan seorang Yudhistira yang lugu melawan seorang Sengkuni yang penuh tipu muslihat. Akankah ini menambah sejarah panjang kesedihan para putera Pandu? Kresna dan Kunti berusaha mencegah pada Pandawa, namun sepertinya takdir tengah menggiring mereka kedalam perangkap Sengkuni.
Musik terus mengalun. Bangsal agung Astina ramai oleh sorak sorai para Kurawa. Mereka tertawa ketika dadu bergulir seperti harapan mereka. Yudhistira mempertaruhkan satu-persatu kekayaannya, maka perlahan pula ia merasakan kekalahan. Yudhistira mempertaruhkan Istana Inderaprasta, ia kemudian kalah. Lalu dipertaruhkannya Nakula dan Sadewa, ia pun kalah. Lalu dipertaruhkannya Bima dan Arjuna, ia pun kalah. Lalu ia mempertaruhkan Drupadi, ia pun kalah. Bahkan ketika Yudhistira mempertaruhkan dirinya sendiri, ia pun kalah.
Pandawa kini menjadi pecundang. Drupadi menangis dirinya dipertaruhkan. Lalu terjadilah peristiwa yang memilukan hati. Drupadi berlarian dan dipermainkan oleh Dursasana, gelung Drupadi terlepas dan rambutnya terurai. Dursasana menarik kain di tubuh Drupadi diiringi oleh tertawaan para Kurawa. Namun setiap sehelai kain terlepas, selalu ada kain lain menutupi badan Drupadi. Kresna terdiam menahan amarah, Bima dan Arjuna tertunduk malu. Lalu sumpah Drupadi membelah langit “Ingatlah Dursasana, aku tidak terima dengan perlakuanmu dan aku bersumpah bahwa aku tidak akan pernah bergelung lagi kalau belum berkeramas dengan darahmu” orang-orang memalingkan wajah, Kunti berurai air mata.
***
Senja temaran di Kurusetra. Gugurnya Abimanyu oleh Jayadatra dan Gatotkaca di tangan Adipati Karna melengkapi kemurkaan Bima yang tiba-tiba terkenang sumpah Drupadi pada permainan dadu di masa lalu. Dursasana menyembunyikan diri tetapi Bima terus mencari. Akhirnya pertemuan keduanya tak terhindarkan. Bima menarik tangan Dursasana hingga putus, lalu ia merobek dada Dursasana, melipat tubuh bersimbah darah itu, dan mengucurkan darah Dursasana kedalam sebuah wadah, untuk akhirnya mempersembahkan wadah penuh darah itu kepada Drupadi untuk mengakhiri sumpahnya, berkeramas dengan darah Dursasana.
Riung kematian terdengar menyayat hati. Bima memekik, kesumat yang membatu kini terlampiaskan sudah. Kurusetra di ambang malam. Langit memerah, semerah rambut Drupadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar