“Masihkah engkau mengingat sumpahku dahulu, wahai Bima?”
“Tentu saja Kakanda. Sumpahmu adalah sumpahku jua. Aku telah menantang
Dursasana. Tak akan kubiarkan keparat itu lolos dari tanganku. Bersiaplah, esok
hari adalah saat penebusan sumpahmu, juga sumpahku.” Demi mendengar jawaban
Bima langit bergemuruh, halilintar berkumandang. Wajah Bima merona, giginya
bergemetak, kedua matanya memerah. Drupadi mengucurkan airmata.
***
Alunan orkestra
membuai suasana perjamuan agung Kerajaan Astina, kala itu. Krisna hadir, Kunti
hadir, Bisma hadir, Widura hadir, Durna hadir, Salya hadir. Pandawa datang
memenuhi undangan sepupu mereka, Duryudana, tanpa sedikitpun sempat menduga apa
yang bakal terjadi. Malam ini mereka menjawab tantangan bermain dadu, dan
Yudhistira telah duduk satu meja bertatap wajah dengan Sengkuni.
Permainan ini adalah
siasat licik Sengkuni untuk menjauhkan Pandawa dari tahta Astina yang menjadi
hak mereka. Destarasta telah mengizinkan anak-anaknya menggelar permainan
terkutuk itu atas usul Sengkuni. ”Melarang kami bermain dadu sama artinya
dengan mencegah kami untuk merasakan kebahagiaan” kata-kata dari lisan
Duryudana itu mencabik-cabik hati Destarasta. Tak kuasa ia mencegahnya, kendati
Widura telah menasihati.
Bisma dengan hati
sedih bergumam, ”permainan ini adalah awal pertumpahan darah keturunan
Bharata”. Widura menyesalkan permainan dadu yangmana harus menghadapkan seorang
Yudhistira yang lugu melawan seorang Sengkuni yang penuh tipu muslihat. Akankah
ini menambah sejarah panjang kesedihan para putera Pandu? Kresna dan Kunti
berusaha mencegah pada Pandawa, namun sepertinya takdir tengah menggiring
mereka kedalam perangkap Sengkuni.
Musik terus mengalun.
Bangsal agung Astina ramai oleh sorak sorai para Kurawa. Mereka tertawa ketika
dadu bergulir seperti harapan mereka. Yudhistira mempertaruhkan satu-persatu
kekayaannya, maka perlahan pula ia merasakan kekalahan. Yudhistira
mempertaruhkan Istana Inderaprasta, ia kemudian kalah. Lalu dipertaruhkannya
Nakula dan Sadewa, ia pun kalah. Lalu dipertaruhkannya Bima dan Arjuna, ia pun
kalah. Lalu ia mempertaruhkan Drupadi, ia pun kalah. Bahkan ketika Yudhistira
mempertaruhkan dirinya sendiri, ia pun kalah.
Pandawa kini menjadi
pecundang. Drupadi menangis dirinya dipertaruhkan. Lalu terjadilah peristiwa
yang memilukan hati. Drupadi berlarian dan dipermainkan oleh Dursasana, gelung
Drupadi terlepas dan rambutnya terurai. Dursasana menarik kain di tubuh Drupadi
diiringi oleh tertawaan para Kurawa. Namun setiap sehelai kain terlepas, selalu
ada kain lain menutupi badan Drupadi. Kresna terdiam menahan amarah, Bima dan
Arjuna tertunduk malu. Lalu sumpah Drupadi membelah langit “Ingatlah Dursasana,
aku tidak terima dengan perlakuanmu dan aku bersumpah bahwa aku tidak akan
pernah bergelung lagi kalau belum berkeramas dengan darahmu” orang-orang
memalingkan wajah, Kunti berurai air mata.
***
Senja temaran di
Kurusetra. Gugurnya Abimanyu oleh Jayadatra dan Gatotkaca di tangan Adipati
Karna melengkapi kemurkaan Bima yang tiba-tiba terkenang sumpah Drupadi pada
permainan dadu di masa lalu. Dursasana menyembunyikan diri tetapi Bima terus
mencari. Akhirnya pertemuan keduanya tak terhindarkan. Bima menarik tangan
Dursasana hingga putus, lalu ia merobek dada Dursasana, melipat tubuh bersimbah
darah itu, dan mengucurkan darah Dursasana kedalam sebuah wadah, untuk akhirnya
mempersembahkan wadah penuh darah itu kepada Drupadi untuk mengakhiri
sumpahnya, berkeramas dengan darah Dursasana.
Riung kematian
terdengar menyayat hati. Bima memekik, kesumat yang membatu kini terlampiaskan
sudah. Kurusetra di ambang malam. Langit memerah, semerah rambut Drupadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar