Kamis, 30 Agustus 2012

Kronis Ironis


“Anda menderita kanker otak stadium empat. Waktu hidup anda tinggal empat bulan lagi.”
“Apa?”
Hari itu rumah Bapak Haji Raden Kusno Joyo Hadiningrat geger segeger-gegernya. Di kepala orang terkaya di Desa Wonogedan  tersebut terjadi perubahan sel-sel otak yang membahayakan kehidupannya. Istilah bekennya kanker otak. Ia takut, konon penyakit itu dalam tingkatan seperti ini berarti tinggal menunggu ditaruh di keranda. Setidaknya itulah yang diketahui istrinya dari kisah-kisah sinetron di televisi.
                Semua tetangga geger, termasuk kantor kepala desa, puskesmas, bahkan pos ronda. Jelas ini adalah hal yang mengagetkan, menyadari bahwa sang juragan adalah pusat dari sendi-sendi perekonomian desa tersebut. Ada yang mengasihani, ada yang mendoakan, tapi ada juga yang mensyukuri bahkan mensumpah serapahi pria malang yang hidupnya sebentar lagi ini.
Lantas apa yang dipikirkan sang juragan? Jelas ia takut. Takut setengah mati karena menyadari harus meninggalkan rumah yang begitu megah, sawah yang membentang luas, sapi dan kerbau yang begitu banyak, bahkan empat orang istri yang masih muda dan cantik-cantik. Bukan itu saja, benak Juragan Kusno tak habis piker mengapa hal ini bisa terjadi padanya.
“Bagaimana kalau istri-istriku memperebutkan harta warisanku?”
“Mengapa aku harus meninggal terlalu cepat? Padahal aku sudah berbuat banyak demi kemajuan desa ini. Sedekah pun tak pernah absen aku bagikan bagi para miskin.”
***
“Mungkin saja penyakit ini masih ada obatnya.”
Juragan Kusno tak patah semangat. Ia mendatangi berbagai rumah pengobatan. Mulai dari Sin She di timur jauh hingga pengobatan barat yang memakan biaya ratusan juta. Hanya saja tidak ada satupun dari semua pengobatan tersebut yang berhasil. Sepertinya Juragan Kusno memang ditakdirkan untuk segera menyandang gelar almarhum.
Juragan Kusno pasrah. Ia sudah merelakan kehidupannya diambil oleh Yang Empunya. Hari ini adalah tepat hari yang dikatakan dokter sebagai hari meninggalnya sang juragan kaya raya tersebut. Sejak seminggu para warga telah dipanggil untuk menerima sumbangan sembako dari keluarga Juragan Kusno. Tak kurang mengadakan kegiatan ibadah untuk mendoakan kepergian calon almarhum.
Ini adalah malam terakhir. Kusno sudah berpamitan dengan seluruh istri dan anak-anaknya. Tak lupa ia berwasiat untuk membagikan harta kekayaannya sama rata. Ia mengenakan pakaian serba putih dan duduk bersila.
Kusno haus, ia meminta segelas air putih. Setelah itu ia merasa pusing, terjatuh dan tergeletak begitu saja.
Kusno meninggal.
***
Kusno terbangun.
Ia berkeringat dingin. Kaget menyadari bahwa itu hanya mimpi. Serasa begitu lama, tapi juga begitu cepat. Jelas sangat menakutkan baginya.
Ia beranjak dari tempat tidurnya. Membasuh wajahnya yang penuh dengan keringat. Terasa dingin dan menyegarkan. Segera saja Kusno keluar menuju teras. Pemandangan desa yang begitu indah. Hanya saja, ia heran sekali mengapa pemandangan ini berbeda sekali dengan yang biasa ia nikmati, kursi yang beda dengan yang biasa ia duduki dan rumah yang sama sekali tak mirip dengan yang biasa ia tinggali.
Kusno menjadi sangat bingung.
Tiba-tiba terdengar suara menggelegar dari langit.
“Bodoh, kau sudah di surga!”

Senin, 27 Agustus 2012

"Kalau mencintai itu membuat berkeringat. Aku orang paling bau di dunia."

"Gelap bukanlah lawan dari terang.

Ia hanya ketiadaan dari terang"

Puisi yang Tak Sudi Dibuat


Hujan hari ini tak cukup buat Matahari
Buat matahari menampakkan Pelangi
Menampakkan Pelangi yang kalau mati juga tak sudi
Tak sudi membuat aku tersenyum hari ini

--

Awan sore ini masih menggamit badai
Menggamit badai yang tanpanya tanah kuburan tak cukup basah
Tak cukup basah untuk menziarahi kuburan mimpi hari ini
Hari ini yang tanpamu pelangi tak lagi berarti
--
Gunung malam ini seperti merapuhkan diri
Merapuhkan diri yang tanpanya akar-akar besar kemelut dalam banjir
Dalam banjir yang dengannya mimpi-mimpi dihantarkan menuju kuburan mimpi
Kuburan mimpi yang tak sudi menerima puisi yang tak sudi dibuat ini