Sabtu, 26 Mei 2012

Pengakuan Seorang Pelacur



Bagiku ia tak lebih dari seorang bajingan atau penjahat kelamin. Ia bukannya pria paling hebat yang pernah menyetubuhiku. Kemaluannya pun tak sesangar tampilan wajahnya yang berjambang lebat. Ah, persetan dengan segala bisik-bisik disekitarku yang menyebutkan bahwa ia adalah orang kuat. Tak penting bagiku segala atribut atau jabatan laki-laki yang datang melacur. Yang paling penting adalah uang bayaran itu harus segera aku terima setelah mereka puas menikmati tubuhku.
Menurutku ia hanyalah orang yang terlalu percaya diri. Mungkin karena ia memang orang yang bergelimang uang. Namun sejujurnya ia hanyalah pria yang mengalami ejakulasi prematur. Denganku, dan sangat mungkin dengan pelacur lain, ia hanya membeli sensasi. Dengan uangnya ia bisa membayar segala jenis pelacur, dari yang bertarif mahal hingga yang murahan. Namun itu tak bisa menutupi kelemahannya, dimana ia hanyalah seorang yang besar nafsu tetapi kekuatan seksualnya tak sehebat hasrat libidonya.
Lelaki berwajah kaku itu sejujurnya bukanlah pria yang romantis. Ia tidak cukup cerdas untuk bisa bersenandung dengan nada yang benar seperti lagu yang dinyanyikan. Dan tidak terlalu sulit untuk menaklukkannya. Cukuplah dengan sedikit kata-kata merayu ia akan segera berubah menjadi orang yang penurut, seperti kerbau yang dicokok hidungnya. Dengan sedikit rayuan ia akan merasa tersanjung lalu menjadi seorang yang royal untuk memberi apapun.
Terbuai oleh rayuan, itu kemudian menjadikannya sebagai (salah satu) pelangganku. Tak usah ditanyakan apakah aku (pernah) merasa puas berhubungan badan dengannya. Tapi tanyakanlah padanya seberapa sering ia takluk hanya dengan desah-desah komersil dari bibirku. Lalu ia akan segera mengobral cumbuan dengan kata-kata mesra yang mungkin tidak pernah ia ucapkan kepada wanita malang yang telanjur menjadi isterinya.
Boleh jadi ia juga terlampau arogan dan tipikal pria berfikiran pendek. Sering aku mendengarnya mengumpat atau memaki melalui telefon selularnya. Bahkan aku mendengar ucapannya saat ia menyuruh seseorang untuk membunuh. ”aku sudah muak dengan ocehannya, tolong deh, loe habisin dia secepatnya”
Begitulah kata-kata yang pernah terlontar suatu kali. Aku tak mengerti dengan apa yang diucapkannya. Yang jelas wajahnya terlihat sangat masam kala itu, lalu ia menggauliku dengan hasrat yang meluap-luap, lalu setelah ia terkapar lemas ia memaki dan mengusirku sambil melemparkan segepok uang dari kantong celananya.
Itulah terakhir kali aku melayaninya. Sepanjang sore ia murka dengan pengalaman barunya, yang mana ia meniduri perempuan yang ternyata adalah gundik salah seorang kenalannya. Ah.. bagiku itu biasa, adalah hal lazim bagi kawanan hidung belang untuk saling bertukar pasangan. Tapi ini mungkin menyangkut harga diri, sesuatu yang membuatnya kalap hingga semudah itu membuat perintah pembunuhan.
Kini, tatkala aku tengah bersenggama dengan pelangganku yang lain, pria yang menjadi pelangganku itu kini muncul di televisi. Ia memakai baju tahanan yang mungkin tak pernah terpikir olehnya selama ini. Ia mungkin berfikir bahwa dirinya kebal hukum, namun faktanya saat ini hukum tengah mengepung dirinya.
Setelah itu aku menjadi sadar, bahwa aku pernah melayani seorang pembunuh. Ah, bagiku dunia menjadi semakin gelap. Aku teringat lagi saat terakhir melewati malam yang pendek bersamanya. Aku teringat pada setumpuk uang pemberiannya yang terakhir sebelum ia mendekam di penjara. Ah…, hanya segepok uang, tapi lihatlah amplop yang membungkusnya. Amplop coklat dengan tulisan Kementerian Pelacuran itu akan terus kusimpan. Amplop itulah saksi bisu bahwa aku juga pernah melayani seorang pejabat penting di negeri ini, dan kuharap itu akan menaikkan reputasiku sebagai pelacur…

Murid Terakhir


Ini adalah sore terakhir bagiku untuk berpamitan. Hanya aku dan Budiman di teras rumah kayu itu. Ya, dalam dua tahun terakhir ini hanya Budiman yang hadir ke “sekolah” ini.
“Jadi, Bapak harus kembali ke Jawa?” tanya Budiman dengan wajah tertunduk. Aku masih diam. Surat Keputusan pindah tugas yang ada ditanganku memberi isyarat bahwa aku harus mengakhiri kebersamaanku dengan Budiman, anak didikku yang tersisa. Cita-citaku mendidik Budiman belum tuntas. Aku masih punya mimpi panjang tentang sebuah sekolah untuk mereka, sekolah yang semestinya, meski bukan berarti aku yang harus menjadi guru mereka.
***
Aku bukan guru, tetapi orang-orang memanggilku Pak Guru, alih-alih menyebutku Pak Mantri sebagaimana profesiku sebagai penyuluh pertanian. Disini aku mengajar, tetapi bukan di gedung sekolah seperti pekerjaan seorang guru. Aku punya murid, kalau boleh disebut begitu, yang jumlahnya tak tentu dengan kehadiran tak pasti pula. Terkecuali Budiman, muridku bisa dipastikan berkurang ketika musim mendaras karet tiba, atau ketika tiba-tiba kebosanan muncul di hati anak-anak itu, maupun orang tua mereka.
Telah enam tahun ini aku bertugas menjadi penyuluh pada kawasan transmigran di pedalaman Riau. Selesai dengan sarjana pertanianku, tugas sebagai penyuluh di tempat yang jauh dari kampung halaman kini menjadi pekerjaanku. Sepeda inilah yang menemaniku menempuh belasan kilometer jalan setapak di tengah ladang untuk menyuluh. Bertahun-tahun mengakrabi petani membuatku faham betapa para transmigran yang polos dan tak terpelajar itu begitu mudah dipermainkan tengkulak karet. Sebagaimana aku hafal bahwa anak-anak para transmigran itu tidak bersekolah, tak mengenal baca tulis dan tak tahu berhitung.
“Sore sudah semakin gelap. Pelajaran hari ini kita akhiri. Besok sore siapa bisa sekolah lagi?” nyaris setiap sore kalimat itu kuucapkan mengakhiri aktifitas belajar disini. Namun tak setiap anak memberi kepastian akan datang untuk belajar esok hari. Ini bukan gedung sekolah. Tetapi hasratku membuatku sanggup menyulap bekas rumah transmigran ini menjadi tempat belajar membaca, menulis dan berhitung. Anak-anak itu, juga orang tua mereka, menyebutnya sekolah.
Perih hatiku ketika orang-orang mencibirku saat kubersihkan bangunan kayu yang disebut orang sebagai sarang hantu itu. Tetapi perlahan kesabaranku membatu, dari gajiku yang tak seberapa ini aku bisa membeli beberapa meja – kursi kayu, sebuah papan hitam dan beberapa lembar poster angka dan huruf.
“Kami mohon ijin kepada Bapak selaku orang tua. Jika diperkenankan boleh kiranya Budiman belajar baca, tulis dan berhitung setiap sore di tempat kami.” Demikian kuketuk setiap pintu, berbicara kepada para orang tua untuk bisa mengajak Budiman juga Zulham, Elias, Darwis, Santoso, Ramadhan, tak terkecuali Uli, Ijah, Wati dan bocah-bocah usia sekolah di kawasan transmigran itu. Tak sekali mereka menghardikku, tak sekali ajakanku ditertawakan, diremehkan “Belajar itu tak penting, Nanti mereka akan bisa berhitung sendiri kalau sudah bisa memanen karet dan sawit dari ladang mereka.”
Ah.. anak-anak itu tetaplah bocah kecil yang senang dengan hal baru. Bocah-bocah itu bersemangat memelajari angka dan huruf, sebesar semangat mereka mendapat buku tulis, pensil, buku gambar dan pensil warna. Itulah yang membuatku senang, kini aku merasa hari-hariku lebih berguna. Aku bangga melihat bocah-bocah yang biasanya hanya bermain dan mengejar-ngejar babi, kini akrab dengan buku dan pensil.
***
Dapat kumaklumi ketika anak-anak itu mulai bosan dengan apa yang mereka sebut sebagai belajar. Aku bisa mengerti jika anak-anak itu lebih memilih pergi mendaras karet atau ikut keluarga mereka menjual sawit. Satu persatu petani transmigran memetik jerih payah mereka. Kini mereka mengenal listrik dan parabola, anak-anak mereka mengenal televisi dan videogame, benda yang jauh lebih menarik dibanding buku dan papan tulis, toh untuk memainkannya mereka tak perlu harus bisa membaca.
Hanya Budiman yang mampu bertahan. Kepolosannya hanya bercita-cita untuk menjadi seperti diriku, seorang penyuluh, karena ia tak tahu bahwa orang bisa saja berprofesi sebagai polisi, dokter, pilot, tentara atau guru. Bocah dengan sorot mata tajam ini adalah bentuk ketersia-siaan sebuah potensi. Ia tak mengenal sekolah, meski kini telah lancar baca-tulis dan berhitung. Ia haus pengetahuan, ia banyak bertanya, serajin ia meminta buku-buku bekas dan koran bekas yang tak setiap saat bisa kuberikan kepadanya.
Budiman menjadi anak terakhir yang bertahan di rumah kayu ini. Aku harus menghentikan semangatnya setiap sore ketika matahari tenggelam dan tak ada lagi cahaya untuk membaca dan menulis. Dan hari ini Budiman pula anak terakhir yang masih mendekap buku sambil melelehkan air mata. Aku meninggalkannya dengan hati berat. Tugas ini harus aku jalani, kendati itu harus membiarkan Budiman berharap kepada kepala desa untuk menjadi gurunya yang lain.
***
Aku tak lagi berada di tengah kehidupan transmigran. Tugasku kini di Jawa Tengah tak lagi memberi kesibukan sebagai pengajar. Pendidikan disini berjalan jauh lebih baik, dan kuharap Budiman bisa segera menikmatinya di daerahnya nun jauh disana.
Bocah-bocah kecil berangkat sekolah bersama-sama bersepeda. Tas-tas yang bagus, penuh berisi buku-buku bermutu. Wajah cerah dibalut seragam bagus itu bernyanyi menuju sekolah mereka yang kokoh dan nyaman. Nyanyian itu, membawa ingatanku pada sesosok bocah di pedalaman Sumatera. Murid terakhirku hanya mendekap buku-buku lawas yang kuberi. Kini aku mengiriminya buku-buku yang lain, juga sepercik harapan agar ia menemukan sekolah yang sesungguhnya.

Semerah Rambut Drupadi



“Masihkah engkau mengingat sumpahku dahulu, wahai Bima?”

“Tentu saja Kakanda. Sumpahmu adalah sumpahku jua. Aku telah menantang Dursasana. Tak akan kubiarkan keparat itu lolos dari tanganku. Bersiaplah, esok hari adalah saat penebusan sumpahmu, juga sumpahku.” Demi mendengar jawaban Bima langit bergemuruh, halilintar berkumandang. Wajah Bima merona, giginya bergemetak, kedua matanya memerah. Drupadi mengucurkan airmata.
***
Alunan orkestra membuai suasana perjamuan agung Kerajaan Astina, kala itu. Krisna hadir, Kunti hadir, Bisma hadir, Widura hadir, Durna hadir, Salya hadir. Pandawa datang memenuhi undangan sepupu mereka, Duryudana, tanpa sedikitpun sempat menduga apa yang bakal terjadi. Malam ini mereka menjawab tantangan bermain dadu, dan Yudhistira telah duduk satu meja bertatap wajah dengan Sengkuni.
Permainan ini adalah siasat licik Sengkuni untuk menjauhkan Pandawa dari tahta Astina yang menjadi hak mereka. Destarasta telah mengizinkan anak-anaknya menggelar permainan terkutuk itu atas usul Sengkuni. ”Melarang kami bermain dadu sama artinya dengan mencegah kami untuk merasakan kebahagiaan” kata-kata dari lisan Duryudana itu mencabik-cabik hati Destarasta. Tak kuasa ia mencegahnya, kendati Widura telah menasihati.
Bisma dengan hati sedih bergumam, ”permainan ini adalah awal pertumpahan darah keturunan Bharata”. Widura menyesalkan permainan dadu yangmana harus menghadapkan seorang Yudhistira yang lugu melawan seorang Sengkuni yang penuh tipu muslihat. Akankah ini menambah sejarah panjang kesedihan para putera Pandu? Kresna dan Kunti berusaha mencegah pada Pandawa, namun sepertinya takdir tengah menggiring mereka kedalam perangkap Sengkuni.
Musik terus mengalun. Bangsal agung Astina ramai oleh sorak sorai para Kurawa. Mereka tertawa ketika dadu bergulir seperti harapan mereka. Yudhistira mempertaruhkan satu-persatu kekayaannya, maka perlahan pula ia merasakan kekalahan. Yudhistira mempertaruhkan Istana Inderaprasta, ia kemudian kalah. Lalu dipertaruhkannya Nakula dan Sadewa, ia pun kalah. Lalu dipertaruhkannya Bima dan Arjuna, ia pun kalah. Lalu ia mempertaruhkan Drupadi, ia pun kalah. Bahkan ketika Yudhistira mempertaruhkan dirinya sendiri, ia pun kalah.
Pandawa kini menjadi pecundang. Drupadi menangis dirinya dipertaruhkan. Lalu terjadilah peristiwa yang memilukan hati. Drupadi berlarian dan dipermainkan oleh Dursasana, gelung Drupadi terlepas dan rambutnya terurai. Dursasana menarik kain di tubuh Drupadi diiringi oleh tertawaan para Kurawa. Namun setiap sehelai kain terlepas, selalu ada kain lain menutupi badan Drupadi. Kresna terdiam menahan amarah, Bima dan Arjuna tertunduk malu. Lalu sumpah Drupadi membelah langit “Ingatlah Dursasana, aku tidak terima dengan perlakuanmu dan aku bersumpah bahwa aku tidak akan pernah bergelung lagi kalau belum berkeramas dengan darahmu” orang-orang memalingkan wajah, Kunti berurai air mata.
***
Senja temaran di Kurusetra. Gugurnya Abimanyu oleh Jayadatra dan Gatotkaca di tangan Adipati Karna melengkapi kemurkaan Bima yang tiba-tiba terkenang sumpah Drupadi pada permainan dadu di masa lalu. Dursasana menyembunyikan diri tetapi Bima terus mencari. Akhirnya pertemuan keduanya tak terhindarkan. Bima menarik tangan Dursasana hingga putus, lalu ia merobek dada Dursasana, melipat tubuh bersimbah darah itu, dan mengucurkan darah Dursasana kedalam sebuah wadah, untuk akhirnya mempersembahkan wadah penuh darah itu kepada Drupadi untuk mengakhiri sumpahnya, berkeramas dengan darah Dursasana.
Riung kematian terdengar menyayat hati. Bima memekik, kesumat yang membatu kini terlampiaskan sudah. Kurusetra di ambang malam. Langit memerah, semerah rambut Drupadi.