Bagiku ia tak lebih dari seorang bajingan atau
penjahat kelamin. Ia bukannya pria paling hebat yang pernah menyetubuhiku.
Kemaluannya pun tak sesangar tampilan wajahnya yang berjambang lebat. Ah,
persetan dengan segala bisik-bisik disekitarku yang menyebutkan bahwa ia adalah
orang kuat. Tak penting bagiku segala atribut atau jabatan laki-laki yang
datang melacur. Yang paling penting adalah uang bayaran itu harus segera aku
terima setelah mereka puas menikmati tubuhku.
Menurutku ia hanyalah orang yang terlalu percaya
diri. Mungkin karena ia memang orang yang bergelimang uang. Namun sejujurnya ia
hanyalah pria yang mengalami ejakulasi prematur. Denganku, dan sangat mungkin
dengan pelacur lain, ia hanya membeli sensasi. Dengan uangnya ia bisa membayar
segala jenis pelacur, dari yang bertarif mahal hingga yang murahan. Namun itu
tak bisa menutupi kelemahannya, dimana ia hanyalah seorang yang besar nafsu
tetapi kekuatan seksualnya tak sehebat hasrat libidonya.
Lelaki berwajah kaku itu sejujurnya bukanlah pria
yang romantis. Ia tidak cukup cerdas untuk bisa bersenandung dengan nada yang
benar seperti lagu yang dinyanyikan. Dan tidak terlalu sulit untuk
menaklukkannya. Cukuplah dengan sedikit kata-kata merayu ia akan segera berubah
menjadi orang yang penurut, seperti kerbau yang dicokok hidungnya. Dengan
sedikit rayuan ia akan merasa tersanjung lalu menjadi seorang yang royal untuk
memberi apapun.
Terbuai oleh rayuan, itu kemudian menjadikannya
sebagai (salah satu) pelangganku. Tak usah ditanyakan apakah aku (pernah) merasa
puas berhubungan badan dengannya. Tapi tanyakanlah padanya seberapa sering ia
takluk hanya dengan desah-desah komersil dari bibirku. Lalu ia akan segera
mengobral cumbuan dengan kata-kata mesra yang mungkin tidak pernah ia ucapkan
kepada wanita malang yang telanjur menjadi isterinya.
Boleh jadi ia juga terlampau arogan dan tipikal
pria berfikiran pendek. Sering aku mendengarnya mengumpat atau memaki melalui
telefon selularnya. Bahkan aku mendengar ucapannya saat ia menyuruh seseorang
untuk membunuh. ”aku sudah muak dengan ocehannya, tolong deh, loe habisin dia
secepatnya”
Begitulah kata-kata yang pernah terlontar suatu
kali. Aku tak mengerti dengan apa yang diucapkannya. Yang jelas wajahnya
terlihat sangat masam kala itu, lalu ia menggauliku dengan hasrat yang
meluap-luap, lalu setelah ia terkapar lemas ia memaki dan mengusirku sambil
melemparkan segepok uang dari kantong celananya.
Itulah terakhir kali aku melayaninya. Sepanjang
sore ia murka dengan pengalaman barunya, yang mana ia meniduri perempuan yang
ternyata adalah gundik salah seorang kenalannya. Ah.. bagiku itu biasa, adalah
hal lazim bagi kawanan hidung belang untuk saling bertukar pasangan. Tapi ini
mungkin menyangkut harga diri, sesuatu yang membuatnya kalap hingga semudah itu
membuat perintah pembunuhan.
Kini, tatkala aku tengah bersenggama dengan
pelangganku yang lain, pria yang menjadi pelangganku itu kini muncul di
televisi. Ia memakai baju tahanan yang mungkin tak pernah terpikir olehnya
selama ini. Ia mungkin berfikir bahwa dirinya kebal hukum, namun faktanya saat
ini hukum tengah mengepung dirinya.
Setelah itu aku menjadi sadar, bahwa
aku pernah melayani seorang pembunuh. Ah, bagiku dunia menjadi semakin gelap.
Aku teringat lagi saat terakhir melewati malam yang pendek bersamanya. Aku teringat
pada setumpuk uang pemberiannya yang terakhir sebelum ia mendekam di penjara.
Ah…, hanya segepok uang, tapi lihatlah amplop yang membungkusnya. Amplop coklat
dengan tulisan Kementerian Pelacuran itu akan terus kusimpan. Amplop itulah
saksi bisu bahwa aku juga pernah melayani seorang pejabat penting di negeri
ini, dan kuharap itu akan menaikkan reputasiku sebagai pelacur…