Sabtu, 26 Mei 2012

Murid Terakhir


Ini adalah sore terakhir bagiku untuk berpamitan. Hanya aku dan Budiman di teras rumah kayu itu. Ya, dalam dua tahun terakhir ini hanya Budiman yang hadir ke “sekolah” ini.
“Jadi, Bapak harus kembali ke Jawa?” tanya Budiman dengan wajah tertunduk. Aku masih diam. Surat Keputusan pindah tugas yang ada ditanganku memberi isyarat bahwa aku harus mengakhiri kebersamaanku dengan Budiman, anak didikku yang tersisa. Cita-citaku mendidik Budiman belum tuntas. Aku masih punya mimpi panjang tentang sebuah sekolah untuk mereka, sekolah yang semestinya, meski bukan berarti aku yang harus menjadi guru mereka.
***
Aku bukan guru, tetapi orang-orang memanggilku Pak Guru, alih-alih menyebutku Pak Mantri sebagaimana profesiku sebagai penyuluh pertanian. Disini aku mengajar, tetapi bukan di gedung sekolah seperti pekerjaan seorang guru. Aku punya murid, kalau boleh disebut begitu, yang jumlahnya tak tentu dengan kehadiran tak pasti pula. Terkecuali Budiman, muridku bisa dipastikan berkurang ketika musim mendaras karet tiba, atau ketika tiba-tiba kebosanan muncul di hati anak-anak itu, maupun orang tua mereka.
Telah enam tahun ini aku bertugas menjadi penyuluh pada kawasan transmigran di pedalaman Riau. Selesai dengan sarjana pertanianku, tugas sebagai penyuluh di tempat yang jauh dari kampung halaman kini menjadi pekerjaanku. Sepeda inilah yang menemaniku menempuh belasan kilometer jalan setapak di tengah ladang untuk menyuluh. Bertahun-tahun mengakrabi petani membuatku faham betapa para transmigran yang polos dan tak terpelajar itu begitu mudah dipermainkan tengkulak karet. Sebagaimana aku hafal bahwa anak-anak para transmigran itu tidak bersekolah, tak mengenal baca tulis dan tak tahu berhitung.
“Sore sudah semakin gelap. Pelajaran hari ini kita akhiri. Besok sore siapa bisa sekolah lagi?” nyaris setiap sore kalimat itu kuucapkan mengakhiri aktifitas belajar disini. Namun tak setiap anak memberi kepastian akan datang untuk belajar esok hari. Ini bukan gedung sekolah. Tetapi hasratku membuatku sanggup menyulap bekas rumah transmigran ini menjadi tempat belajar membaca, menulis dan berhitung. Anak-anak itu, juga orang tua mereka, menyebutnya sekolah.
Perih hatiku ketika orang-orang mencibirku saat kubersihkan bangunan kayu yang disebut orang sebagai sarang hantu itu. Tetapi perlahan kesabaranku membatu, dari gajiku yang tak seberapa ini aku bisa membeli beberapa meja – kursi kayu, sebuah papan hitam dan beberapa lembar poster angka dan huruf.
“Kami mohon ijin kepada Bapak selaku orang tua. Jika diperkenankan boleh kiranya Budiman belajar baca, tulis dan berhitung setiap sore di tempat kami.” Demikian kuketuk setiap pintu, berbicara kepada para orang tua untuk bisa mengajak Budiman juga Zulham, Elias, Darwis, Santoso, Ramadhan, tak terkecuali Uli, Ijah, Wati dan bocah-bocah usia sekolah di kawasan transmigran itu. Tak sekali mereka menghardikku, tak sekali ajakanku ditertawakan, diremehkan “Belajar itu tak penting, Nanti mereka akan bisa berhitung sendiri kalau sudah bisa memanen karet dan sawit dari ladang mereka.”
Ah.. anak-anak itu tetaplah bocah kecil yang senang dengan hal baru. Bocah-bocah itu bersemangat memelajari angka dan huruf, sebesar semangat mereka mendapat buku tulis, pensil, buku gambar dan pensil warna. Itulah yang membuatku senang, kini aku merasa hari-hariku lebih berguna. Aku bangga melihat bocah-bocah yang biasanya hanya bermain dan mengejar-ngejar babi, kini akrab dengan buku dan pensil.
***
Dapat kumaklumi ketika anak-anak itu mulai bosan dengan apa yang mereka sebut sebagai belajar. Aku bisa mengerti jika anak-anak itu lebih memilih pergi mendaras karet atau ikut keluarga mereka menjual sawit. Satu persatu petani transmigran memetik jerih payah mereka. Kini mereka mengenal listrik dan parabola, anak-anak mereka mengenal televisi dan videogame, benda yang jauh lebih menarik dibanding buku dan papan tulis, toh untuk memainkannya mereka tak perlu harus bisa membaca.
Hanya Budiman yang mampu bertahan. Kepolosannya hanya bercita-cita untuk menjadi seperti diriku, seorang penyuluh, karena ia tak tahu bahwa orang bisa saja berprofesi sebagai polisi, dokter, pilot, tentara atau guru. Bocah dengan sorot mata tajam ini adalah bentuk ketersia-siaan sebuah potensi. Ia tak mengenal sekolah, meski kini telah lancar baca-tulis dan berhitung. Ia haus pengetahuan, ia banyak bertanya, serajin ia meminta buku-buku bekas dan koran bekas yang tak setiap saat bisa kuberikan kepadanya.
Budiman menjadi anak terakhir yang bertahan di rumah kayu ini. Aku harus menghentikan semangatnya setiap sore ketika matahari tenggelam dan tak ada lagi cahaya untuk membaca dan menulis. Dan hari ini Budiman pula anak terakhir yang masih mendekap buku sambil melelehkan air mata. Aku meninggalkannya dengan hati berat. Tugas ini harus aku jalani, kendati itu harus membiarkan Budiman berharap kepada kepala desa untuk menjadi gurunya yang lain.
***
Aku tak lagi berada di tengah kehidupan transmigran. Tugasku kini di Jawa Tengah tak lagi memberi kesibukan sebagai pengajar. Pendidikan disini berjalan jauh lebih baik, dan kuharap Budiman bisa segera menikmatinya di daerahnya nun jauh disana.
Bocah-bocah kecil berangkat sekolah bersama-sama bersepeda. Tas-tas yang bagus, penuh berisi buku-buku bermutu. Wajah cerah dibalut seragam bagus itu bernyanyi menuju sekolah mereka yang kokoh dan nyaman. Nyanyian itu, membawa ingatanku pada sesosok bocah di pedalaman Sumatera. Murid terakhirku hanya mendekap buku-buku lawas yang kuberi. Kini aku mengiriminya buku-buku yang lain, juga sepercik harapan agar ia menemukan sekolah yang sesungguhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar